Semangat Bersama Membangun Desa
Desa, sebuah entitas sosial-politik yang memiliki karakteristik unik dalam struktur formal kelembagaan negara Republik Indonesia, masih terus berjuang menemukan ‘muara’ dalam perwujudan kemandirian atau otonomi pemerintahannya. Otonomi yang bukan asal otonomi, namun harus membuahkan demokrasi yang bersifat partisipatif dalam pembangunan ekonomi desa secara menyeluruh.
Perjuangan menuntut otonomi desa seakan menemukan hasil ketika spirit otonomi daerah (yang menjadi amanat gerakan reformasi) termanifestasi dalam sebuah undang-undang (UU), yakni UU No.32 tahun 2004.
Dalam UU tersebut disinggung pula perihal pemerintahan desa, yang kemudian secara spesifik diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.72 tahun 2005 tentang Desa sebagai salah satu aturan pelaksana dari UU No.32/2004. Jadi, sebenarnya kini telah ada regulasi yang khusus mengatur desa, namun regulasi itu ada di level PP dan bukan UU.
PP itu juga memberikan kewenangan yang cukup besar bagi kepala desa dalam melaksanakan tugas sebagai kepala pemerintahan desa. Kewenangan-kewenangan bagi kepala desa tersebut adalah:
(1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
(2) Mengajukan rancangan Peraturan Desa (Perdes),
(3) Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD,
(4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD,
(5) Membina kehidupan masyarakat desa,
(6) Membina perekonomian desa,
(7) Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif,
(8) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakili sesuai dengan peraturan perundang undangan,
dan (9) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Sementara itu, bagi Pemerintah Desa, selain memberikan peluang bagi terwujudnya kemandirian desa, era otonomi daerah juga mensyaratkan kesiapan desa dalam menghadapi beragam tantangan. Pemerintah Desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa dituntut untuk melaksanakan tugas pemerintahan dengan sebaik-baiknya, seperti dalam hal perumusan kebijakan desa seperti Perdes dan APB Desa, merencanakan dan melaksanakan pembangunan ekonomi desa yang sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat desa serta memberikan pelayanan kepada masyarakat desa seperti dalam hal administrasi kependudukan dan kesehatan.
Hanya dengan kesiapan itulah desa-desa di negeri ini dapat diharapkan bermetamorfosa menjadi desa yang mandiri dan sejahtera. Hal ini tampak mudah, mengingat regulasi yang ada telah memberikan otoritas bagi pemerintah desa untuk mengelola wilayahnya. Namun, pelaksaanaan otoritas itu tidaklah seperti yang diharapkan. Kenyataannya, otoritas kepala desa masih sering terpotong oleh kewenangan pemerintah Kabupaten atau Bupati.
Kini, untuk mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari pemerintah kabupaten.
Menurut penulis, realitas tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Dan faktor terbesarnya adalah minimnya anggaran bagi pembangunan desa dan belanja pemerintahan desa.
Perlu untuk diketahui, sebagian besar dana bagi pembangunan desa berasal dari pemerintahan supra-desa, baik itu Kabupaten maupun pusat. Dana pembangunan desa yang berasal dari internal desa hanyalah pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa dan hasil kekayaan desa yang bersumber dari tanah kas desa dan pasar desa.
Dan itu tidaklah mampu meng-cover seluruh kebutuhan pembangunan desa.
Sementara itu, suplai dana pembangunan desa dari pemerintah kabupaten maupun pusat juga seringkali tidak memadai bagi kepentingan pembangunan desa maupun belanja pemerintah desa.
Suplai dana yang berasal dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta bagi hasil pajak daerah itu tidak mampu mencukupi kebutuhan desa dalam menjalankan pembangunan di segala sektor, karena kebanyakan suplai dana itu hanya ‘sisa-sisa’ penyerapan anggaran yang sebagian besar telah digunakan pihak kabupaten maupun kota.
Namun, tetap saja desa membutuhkan aliran dana dari pemerintahan supra-desa. Sebab, mengandalkan pendapatan asli desa saja tidak akan mencapai hasil pembangunan yang diinginkan, bahkan dalam standar minimum sekalipun.
Hal inilah yang sesungguhnya menimbulkan ketidakmandirian desa dalam segala aspek. Ketiadaan alokasi khusus anggaran dari negara untuk desa menyebabkan desa mesti berebut ‘remah-remah’ dana pembangunan yang telah dipakai pemerintahan supra-desa.
Ketidakmandirian dalam aspek lainnya juga terlihat dalam mekanisme pengambilan kebijakan pembangunan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Dalam mekanisme tersebut, pihak desa hanya bisa memberikan usulan-usulan dan aspirasi tertentu guna kepentingan pembangunan desa. Sementara, implementasinya (yang sangat terkait erat dengan pendanaan) harus menunggu ‘kebaikan hati’ pemerintah Kabupaten.
Hal ini juga disebabkan ketergantungan desa pada sokongan finansial supra-desa.
Interdependensi desa juga tampak pada pengelolaan aset pemerintah Kabupaten yang ada di desa, seperti pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa. Aset tersebut tetap menjadi sumber PAD bagi pemerintah Kabupaten tanpa banyak melibatkan pihak desa. Sementara bila ingin menggugat hal tersebut, pihak desa tidak memiliki daya tawar yang memadai, karena bagaimanapun tetap membutuhkan suplai dana dari pemerintah kabupaten.
Namun, hal yang juga tak kalah penting adalah penguatan demokrasi partisipatif masyarakat desa.
Penguatan itu dapat dilakukan melalui penguatan peran lembaga perwakilan formal seperti BPD atau Majelis Permusyawaratan Rakyat Desa/MPRDes (seperti beberapa usulan dalam pembahasan DPR), maupun diakomodasinya organisasi-organisasi kemasyarakatan maupun lembaga swadaya yang tumbuh dari inisiatif masyarakat desa itu sendiri.
Hal ini guna mengontrol jalannya pemerintahan desa sekaligus penggunaan anggaran negara oleh pemerintah desa. BPD haruslah diposisikan sejajar dengan pemerintahan desa.
Dengan demikian, semangat membangun desa menjadi sesuatu yang niscaya serta dapat terimpelementasikan. harapan penulis, kepada seluruh kepala Desa yang telah memenangkan prosesi Pilkades pada masing-masing wilayahnya agar senantiasa memiliki semangat pembangunan yang disertai dengan perencanaan, pemahaman dan pengetahuan tentang pemerintahan desa.
Semangat tanpa perencanaan akan pincang, perencanaan tanpa pengetahuan akan lumpuh. Oleh demikian, yang diharapkan bukan kemenangan karena dukungan material yang banyak atau keluarga yang memadai, namun lebih disebabkan karena pengetahuan akan pemerintahan menjadi faktor utama dalam membangun desa yang lebih baik.
Posting Komentar