BALEKAMBANG ONLINE- Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah sejak wacana itu ada memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melaui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Proses desentralisasi yang telah berlangsung telah memberikan penyadaran tentang pentingnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun pada saat ini kebijakan yang ada masih menitik-beratkan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan ditingkat paling bawah, yaitu desa.
Pemerintah desa diyakini lebih mampu melihat prioritas kebutuhan masyarakat dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara nyata memiliki ruang lingkup permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu, pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritas pembangunan pedesaan yang telah ditetapkan.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan daerahnya. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap pengembangan wilayah pedesaaan adalah adanya anggaran pembangunan secara khusus yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan wilayah pedesaan, yakni dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). Inilah yang kemudian melahirkan suatu proses baru tentang desentralisasi desa diawali dengan digulirkannya Alokasi Dana Desa (ADD).
Maksud pemberian Alokasi Dana Desa (ADD) adalah sebagai bantuan stimulan atau dana perangsang untuk mendorong dalam membiayai program Pemerintah Desa yang ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Di dalam pelaksanaan bantuan Alokasi Dana Desa di Desa Balekambang masih terdapat beberapa permasalahan. Sebagai contoh adalah masih rendahnya Pendapatan Asli Desa yang diperoleh oleh Desa.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No.32 Tahun 2004 prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa pemunculan “ Pemerintah Daerah” di Indonesia tidak terjadi begitu saja. Indonesia dengan nama awal “ Negara Kesatuan Republik Indonesia” sangat identik dengan sentralistik, kekuasaan terpusat.
Pergeseran sentralistik kearah desentralisasi, konsekuensinya ditandai dengan pelaksanaan local government, yang memiliki tiga esensi, yaitu :
a. Pemerintah daerah sebagai organ yang melaksanakan urusan dan fungsi yang
desentralisasi;
b. Sebagai pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi yang dijalankan
dalam kerangka desentraliasi;
c. Sebagai daerah otonom lokasi dimana lokalitas berada dan membentuk kesatuan hukum sendiri yang meskipun tidak berdaulat tetapi memiliki hak untuk mengurus dirinya-sendiri (Muluk 2006:63).
Pelaksanaan local government memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dalam
akses mendapatkan pelayanan publik karena lebih dekat dan dianggap lebih mengetahui keadaan riil masyarakat setempat daripada pemerintah pusat.
Peran Pemerintah daerah yang desentralistik
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu, UU No. 32 tahun 2004.Undangundang ini membawa pembaruan pada sistem pemerintahan, dari sentralistik-otoriter ke desentralistik demokratik.
Dengan berubahnya sistem pemerintahan menjadi bersifat desentralistik, daerah memiliki kewenangan yang luas mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali beberapa kewenangan yang dinyatakan secara eksplisit sebagai kewenangan pemerintah pusat.
Selain itu terdapat bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja.
Dari sisi demokratisasi, rakyat menjadi mudah menyalurkan aspirasinya, salah satunya karena dekatnya pemerintah dan wakil rakyat. Kedekatan yang dimaksud adalah dekatnya wewenang dan kekuasaan pemerintah dengan rakyat, dimana sekarang ini keduanya sudah berada ditangan pemerintahan daerah, yang merupakan hasil dari devolution of power(devolusi kekuasaan) dan delegation of authority (pendelegasian wewenang) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Konsep dan Definisi Desa
Desa dan Pemerintahan Desa di era Otonomi Daerah
Menurut Ndraha (1984, h.3) pengertian resmi tentang desa menurut Undang undang
adalah :
UU Nomor 5 Tahun 1979
Desa ialah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat,termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU Nomor 22 Tahun 1999
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Ini berarti desa merupakan suatu pemerintahan yang mandiri yang berada di dalam sub sistem Pemerintahan Nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU Nomor 32 Tahun 2004
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, bahwa Desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian desa sebagai suatu bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui otonominya dan Kepala Desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan pendelegasian dari pemerintahan ataupun pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintahan desa berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Merupakan suatu kegiatan pemerintah desa, lebih jelasnya, pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan tata kelola desa (disingkat penyelenggaraan desa), atau yang dikenal selama ini sebagai “pemerintahan desa”.Kepala Desa adalah pelaksana kebijakan sedangkan Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga pembuat dan pengawas kebijakan (Peraturan Desa).
Peran Pemerintah Desa dalam mengelola Pembangunan Desa
Pembangunan masyarakat pedesaan diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan dan masalahnya bersama. Pembangunan daerah perdesaan diarahkan
1) untuk pembangunan desa yang bersangkutan dengan memanfaatkan sumberdaya
2) pembangunan yang dimiliki (SDA dan SDM),
3) untuk meningkatkan keterkaitan pembangunan antara sektor (Perdagangan, pertanian dan industri) antara desa, antar perdesaan dan perkotaan, dan
4) untuk memperkuat pembangunan nasional secara menyeluruh.
Pembangunan di desa merupakan model pembangunan partisipatif yaitu suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Permendagri No 66 tahun 2007, karakteristik pembangunan partisipatif diantaranya direncanakan dengan pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan, yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif, yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala Desa,Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum Musrenbangdes, hasil musyawarah tersebut diditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa. Dalam pelaksanaan pembangunan Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat dibantu oleh lembaga kemasyarakatan di desa.
Pengelolaan ADD dalam Keuangan Desa (APBDes)
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 7 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
Dengan demikian desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan dapat diwujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik, yang memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Oleh karenanya, proses dan mekanisme penyusunan APBDesa yang diatur dalam Permendagri tersebut akan menjelaskan siapa yang, dan kepada siapa bertanggungjawab, dan bagaimana cara pertanggungjawabannya. Untuk itu perlu
ditetapkan pedoman umum tata cara pelaporan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah desa, yang dimuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2007.
Untuk memberikan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun RPJM-Desa dan RKP-Desa perlu dilakukan pengaturan.Dengan itu maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Desa. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBDesa semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Peran Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan Desa
Dengan Alokasi Dana Desa yang dititik beratkan pada pembangunan masyarakat pedesaan, diharapkan mampu mendorong penanganan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa secara mandiri tanpa harus lama menunggu datangnya program-program dari pemerintah kabupaten. Dengan adanya alokasi dana desa, perencanaan partisipatif akan lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhan yang tertuang dalam dokumen
perencanaan di desanya.
Konsep Pembangunan Desa
Pemahaman tentang Pembangunan
Ditinjau dari tujuan-tujuannya, pembangunan adalah pengharapan akan kemajuan dalam social serta ekonomi dan untuk mana setiap negara mempunyai pandangan maupun nilai-nilai yang berlainan mengenai apa yang dimaksud dengan di “harapkan” itu.
Makna Pembangunan Desa
Pembangunan masyarakat desa (pedesaan) adalah seluruh kegiatan pembangunan yang berlangsung di desa dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, serta dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong royong.Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa berdasarkan kemampuan dan potensi sumberdaya alam (SDA) melalui peningkatan kualitas hidup, ketrampilan dan prakarsa masyarakat.
Pembangunan masyarakat pedesaan diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan dan masalahanya secara
bersama.Pembangunan masyarakat desa adalah kegiatan yang terencana untuk menciptakan kondisikondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Pakar lain memberikan batasan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah perpaduan antara pembangunan sosial ekonomi dan pengorganisasian masyarakat. Pembangunan sektor sosial ekonomi masyarakat desa perlu diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang didukung oleh organisasi dan partisipasi masyarakat yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan kinerja nya secara terus menerus tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Strategi Pembangunan Desa
Dua grand strategy diatas kemudian dijabarkan menjadi strategi-strategi khusus
pembangunan, sebagai berikut :
1. Grand strategy yang pertama, yakni “Penataan kembali manajemen Pemerintah Desa” dijabarkan menjadi strategi-strategi khusus pembangunan sebagai berikut :
a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintah, agar kinerjanya
dapat profesional, jujur, mampu memimpin dan memecahkan permasalahan
ekonomi, sosial dan memberikan perhatian serta pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
b. Meningkatkan peran serta masyarakat di dalam pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, untuk menjamin agar program
pembangunan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan yang paling
diperlukan masyarakat.
Pada Tahun 2014 muncul kebijakan baru yang mengatur desa secara khusus, yaitu UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. UU Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan masuk dalam lembaran negara no 6 tahun 2014 pada 15 Januari 2014. UU Desa menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. UU Desa menempatkan desa sesuai dengan amanat konstitusi dengan merujuk pasal 18B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7.
UU Desa membentuk tatanan desa sebagai self-governing community dan local self-government. Tatanan itu diharapkan mampu mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi fondasi keragaman NKRI. Asas pengaturan desa dalam Undang-Undang ini adalah:
1. Rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
2. Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
3. Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
4. Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
5. Kegotong-royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6. Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
7. Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8. Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keseluruhan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
9. Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10. Partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11. Kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12. Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
13. Keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan Desa.
Lahirnya UU Desa membawa peluang dan tantangannya tersendiri. Peluang untuk mewujudkan desa yang sejahtera semakin terbuka, karena UU Desa akan mengatur 10% dari APBN akan disalurkan ke desa. Dengan anggaran tersebut, desa diberi kewenangan untuk menggunakan anggaran yang ada demi mewujudkan desa yang makmur. Bak dua sisi mata uang, antara harapan dan tantangan tidak bisa dipisahkan. Anggaran 10% dari APBN tentu bukan jumlah yang sedikit bagi pembangunan desa, maka dari itu pengaturan dan pengelolaan anggaran tersebut menjadi tantangan yang tidak dibisa pisahkan.
Lahirnya UU Desa merupakan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreatifitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Pemerintah daerah akan sangat terbantu dalam memberikan sentuhan nyata dan merata bagi masyarakat desa di seluruh wilayah karena sudah ada kepastian anggaran negara yang dialokasikan langsung di setiap desa. Dalam implementasinya ke depan pemerintah daerah tinggal lebih mengefektifkan koordinasi imperative, sehingga tata kelola pemerintahan dan pembangunan bisa berjalan efektif dan tidak disorientasi.
Sekurangnya ada lima isu strategis dalam UU Desa ini, yaitu ;
1) Pembangunan Desa
2) Keuangan, Aset dan BUM Desa
3) Pembangunan Kawasan Perdesaan
4) Kerja Sama Antar Desa dan
5) Lembaga Kemasyarakatan Desa
Tantangan yang kemungkinan besar muncul dengan adanya UU Desa ini adalah proses politik perebutan jabatan kepala desa menjadi lebih panas. Dengan gelontoran dana 10% dari APBN yaitu sebesar Rp. 59, 2 triliun untuk 72 ribu desa di Indonesia, belum lagi adanya aturan 10% dari APBD, diperkirakan memancing aktor-aktor potensial desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa termasuk jabatan perangkat desa secara tidak sehat. UU ini menciptakan gravitasi yang kuat bagi orang di desa untuk terlibat dalam kontestasi kepala desa. Di sini akan muncul berbagai persoalan seperti halnya pemilihan kepala daerah misalnya maslaah money politic akan muncul dalam bentuk transaksi suara. Berkaca pada desentralisasi di lingkup daerah, Utomo (2009) menjabarkan beberapa permasalahan dalam praktik desentralisasi di tingkat lokal sebagai :
1. Bahwa otonomi atau desentralisasi dimaknakan sebagai lingkup “uang”
2. Demikian juga munculnya arogansi daerah
3. Munculnya ekslusivisme daerah, sehingga sering terjadi tekanan-tekanan disintegrasi.
Seperti halnya diharapkan ketika disahkan UU Otonomi Daerah N0. 32 tahun 2004 yang lalu. Semua pejabat dan aparat lokal bergembira dan seolah UU tersebut bak oase di padang pasir. Demikian pun para pejabat desa, ketika UU tentang desa disahkan maka pada saat yang sama mereka bergembira dan mengalami kegembiraan yang sungguh luar biasa. Kegembiraan tersebut tidak menutup kemungkinan mewujud dalam bentuk kegembiraan individu dari figur-figur di desa. Jangan sampai mengulang sejarah transisi sistem pemerintahan Indonesia dari sentalisasi menuju desentralisasi yang melahirkan raja-raja kecil di daerah. Begitupula UU Desa ini semoga bukan menjadi proses migrasi korupsi dari daerah ke desa. Kalau ini yang terjadi maka dapat dipastikan akan banyak penyalahgunaan anggaran dan wewenang, apalagi kemampuan manajerial desa yang masih rendah mengafirmasi keraguan akan keberhasilan UU Desa tersebut.
Oleh karena itu UU Desa harus menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan baik pada tingkat pusat maupun daerah.Pasca UU Desa ini disahkan, pemerintah desa sebagai birokrasi perlu mentrasformasi diri menjadi, seperti yang diulas Abdullah (1991) secara normatif, 1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, 2) birokrasi pembangunan yang memiliki fungsi pokoknya yaitu fungsi pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); karena hal yang melatar belakangi terbitnya UU ini adalah masih adanya ketimpangan pembangunan di desa dan 3) birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Pelayanan di sini bisa dimaknai sebagai mengakomodasi langsung aspirasi masyarakat desa.
Lebih lanjut, untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari UU Desa ini, maka sebagai awalan perlu sosialisasi UU Desa dan pendidikan politik secara massif dan holistik di seluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat. Pendidikan politik ini diselenggarakan dalam kepentingan intervensi sosial dalam membangun kesadaran masyarakat, terutama dalam kesadaran kritis (Alfitri: 2011) sehingga ke depan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala desa adalah partispasi yang kririts. Karena partisipasi merupakan indikator penting untuk mengukur perilaku keberhasilan masyarakat desa dan kepentingan dalam pemilihan kepala desa (Shi: 1997) (Manion: 1997) (Kent: 1997)
Selanjutnya yaitu pengalokasikan dana sesuai dengan kriteria untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa yang sudah mencakup: jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, ketersediaan infrastruktur untuk akses dan pelayanan dasar, dll. Selanjutnya pada tahapan skema pencairan, pemanfaatan dan pertanggungjawaban dana harus dibuat dengan baik sehingga alokasi menjadi efektif yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengarah pada good village governance. Menyoal akuntabilitas, Chhatre (2008) berpendapat bahwa akuntabilitas dalam desentralisasi, begitupula dalam konteks desentralisasi pada desa, tidak dapat dikonseptualisasikan atau dianalisis secara terpisah dari akuntabilitas lembaga tinggi representasi dan pemerintahan, sehingga akuntabilitas desa akan selalu berkait erat dan saling berkelindan dengan akuntabilitas daerah dan akuntabilitas negara yang harus juga ikut mengawal dari keberlaksanaan dari UU ini.
Implikasi dari hal-hal yang telah dijabarkan di muka, maka desa sekarang harus mulai memiliki rekening desa yang dapat dikontrol langsung oleh desa, kemudian desa pun perlu mulai merintis dan mengembangkan sistem informasi dan akuntabilitas pengelolaan dana dan pembangunan desa. Kemudian yang tak kalah penting dalam konteks SDM desa, perlu dilakukan empowering kepala dan perangkat desa, yang akan mengelola keuangan desa.
UU Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU ini merupakan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini, desa hanya selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia di pedesaan. Desa menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Dengan bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.
Kemudian UU ini bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian msyarakat desa serta memupus kesenjangan pembangunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa. Inilah yang didefiniskan Dunhan (dalam Rukminto, 2003:217-218) sebagai pengembangan masyarakat yang menjadi upaya terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi masyarakat, terutama melalui usaha kooperatif dan mengembangkan kemandirian perdesaan. Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara mendorong mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah desa, menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur, adil dan demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan jeratan kemiskinan.
Semoga yang duduk di Pemerintahan Desa senantiasa dapat menjaga amanah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,demi terlaksananya pemerataan Pembangunan seperti yang Masyarakat Harapkan Dengan mengedepankan Prinsif keterbukaan dan kebersamaan.
Penulis.M.Suryaningrat,S.H.(Sekretaris Desa Balekambang Kecamatan Nagrak)
Posting Komentar